Minggu, 22 Maret 2009

PERIODISASI SASTRA

PERIODISASI SASTRA INDONESIA

1. Periodisasi Sastra menurut H B Yassin
(1) Sastra Melayu Lama
(2) Sastra Indonesia Modern
Angkatan 20
Angkatan 30 ( Pujangga Baru )
Angkatan 45
2. Periodisasi Sastra menurut Sabarudin Ahmad
(1) Kesusastraan Lama
Dinamisme
Hinduisme
Islamisme
(2) Kesusastraan Baru
Masa Abdullah bin Abdulkadir Munsyi
Masa Balai pustaka
Masa Angkatan 45
3. Periodisasi Sastra menurut Usman Effendi
(1) Kesusastraan Lama
(2) Zaman Peralihan ( Zaman Abdullah bin Abdulkadir Munsyi )
(3) Kesusastraan Baru
Zaman Balai Pustaka ( 1908 )
Zaman Pujangga Baru ( 1933 )
Zaman Jepang ( 1942 )
Zaman Angkatan 45 ( 1945 )
4. Periodisasi Sastra menurut Ajip Rosidi
(1) Masa Kelahiran atau Masa Kejadian ( awal abad XX -1945 )
Periode awal abad XX – 1933
Periode 1933 – 1942
Periode 1945 - 1945
(2) Masa Perkembangan ( Sejak 1945 – hingga kini )
Periode 1945 – 1953
Periode 1953 – 1960
Periode 1960 – hingga kini
5. Periodisasi Sastra menurut JS Badudu
(1) Kesusastraan Lama dan Angkatan Lama
Kesusastraan Masa Purba
Kesusastraan Masa Hindu Arab
(2) Kesusastraan Masa Peralihan dan Angkatan Peralihan
Abdullah bin Abdulkadir Munsyi
Angkatan Balai Pustaka
(3) Kesusastraan Baru dan Angkatan Baru
Angkatan Pujangga Baru
Amgkatan Modern ( Angkatan 45 )
Angkatan Muda

HURUF KAPITAL

HURUF KAPITAL
Definisi Huruf Kapital
Huruf Kapital disebut juga Huruf Besar.
Huruf kapital adalah huruf yang berukuran dan berbentuk khusus ( lebih besar dari huruf biasa ), biasanya digunakan sebagai huruf pertama dari kata pertama dalam kalimat, huruf pertama nama diri, dan sebagainya.
Huruf Kapital dipakai sebagai:
1. Huruf pertama kata pada awal kalimat.
Contoh:
Petani memanen padi yang sudah tua.
Siapakah presiden kita?
Cepat kerjakan!
2. Huruf pertama petikan langsung.
Contoh:
Adik bertanya, “Kapan kita berangkat?”
“Besok pagi,” kata Ibu,”sekalian ke rumah kakek.”
“Kemarin kamu ke rumah Imas,” tanya Dodi.
3. Huruf pertama dalam ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan dan kitab suci, termasuk kata ganti untuk Tuhan.
Contoh:
Biksu sedang membaca Kitab Weda.
Pendeta membaca ayat-ayat suci dari Alkitab.
Tuhan akan menunjukkan jalan pada hamba-Nya.
4. Huruf pertama nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang.
Contoh:
Sultan HB IX.
Haji Agus Salim.
Tengku Muhammad Hasan.
Nabi Ibrahim.
5. Huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti nama orang tertentu, nama instansi, atau nama tempat.
Contoh:
Wakil Presiden Jussuf Kalla.
Jendral Sutanto.
Gubernur Tangerang.
Sekretaris Jendral Departemen Pertanian.
6. Huruf pertama unsur-unsur nama orang.
Contoh:
Amir Hamzah
Halim Perdanakusumah
Wage Rudolf Supratman
7. Huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa.
Contoh:
bangsa Indonesia
suku Batak
bahasa Perancis
8. Huruf pertama nama tahun, bulan, hari, hari raya, dan peristiwa sejarah.
Contoh:
tahun Hijriah
tarikh Masehi
September
Sabtu
hari Natal
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
9. Huruf pertama nama geografi.
Contoh:
Asia Tenggara, Bukit Barisan, Cirebon, Danau Sentani, Gunung Bromo, Jalan Asia-Afrika.
10. Huruf pertama singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan.
Contoh:
Dr. = Doktor
Prof. = Profesor
Tn. = Tuan
Ny. = Nyonya
S.H. = Sarjana Hukum
11. Huruf pertama semua unsur nama negara, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi. ( Termasuk unsur bentuk ulang sempurna)
Contoh:
Republik Indonesia
Majelis Permusyawaratan Rakyat
Keputusan Presiden
Undang-Undang Dasar 45
Perserikatan Bangsa-Bangsa
12. Huruf pertama semua kata di dalam nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan.
Contoh:
Bacalah majalah Bahasa dan Sastra.
Saya telah membaca buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma.
Dia adalah agen majalah Angkasa.
13.Huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan.
Contoh:
“Kapan Bapak berangkat?”tanya Anto
Adik bertanya, “Itu apa Bu?”
Para ibu mengunjungi Ibu Hasan.
14. Huruf pertama kata ganti Anda.
Surat Anda telah kami terima.
Silahkan Anda masuk.

RESENSI

RESENSI
A. Definisi Resensi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ) resensi berarti pertimbangan atau perbincangan tentang buku; ulasan buku. Namun dalam perkembangannya resensi tidak hanya tentang buku bisa juga untuk film, musik/ lagu.
Resensi berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata kerja revidere atau recensere yang artinya melihat kembali, menimbang atau menilai. Arti yang sama untuk istilah tersebut dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah review, sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah recensie. Tiga istilah tersebut mengacu pada hal yang sama, yakni mengulas sebuah buku.
Ringkas kata, resensi berarti membuat ulasan, kajian, atau pertimbangan buku, film, musik/ lagu. Dalam kajian ini kita menimbang tentang kelebihan dan kekurangan dari obyek yang kita resensi.

B. Macam-macam Resensi
Beberapa macam resensi:
a. Resensi Buku:
Resensi buku adalah bentuk kajian atau ulasan yang paling banyak dijumpai. Resensi ini mengulas atau mengkaji tentang kelebihan dan kekurangan dari suatu buku.
b. Resensi Film:
Resensi film mengulas atau mengkaji tentang kelebihan dan kekurangan dari suatu film.
c. Resensi Musik/ Lagu:
Resensi musik/ lagu mengulas atau mengkaji tentang kelebihan dan kekurangan dari suatu kumpulan musik atau lagu.
C. Cara menulis resensi ( BUKU )
(1) judul buku, (2) pengarang, (3) penerbit, (4) tahun terbit beserta cetakannya, (5) tebal buku, dan (6) harga buku (jika diperlukan). Unsur tubuh resensi merupakan bagian inti dari suatu resensi. Bagian ini memuat diantaranya (1) sinoposis atau isi buku secara bernas dan kronologis, (2) ulasan singkat buku dengan kutipan secukupnya, (3) keunggulan buku, (4) kelemahan buku, (5) rumusankerangkan buku, (6) tinjauan bahasa, dan (7) adanya kesalahan cetak. Terakhir, unsur penutup resensi biasanya berisi buku itu penting untuk siapa dan mengapa.
D. Contoh-contoh resensi
1. Resensi Film

Sinopsis
Butterfly berkisah tentang tiga orang sahabat, Vano (Andhika Pratama), Tia (Poppy Sovia), dan Desi (Debby Kristi). Karena dari awal sudah cukup dekat dengan Tia, lama-kelamaan timbul sikap protektif dari diri Desi terhadap Tia. Tia sendiri jatuh cinta pada Vano, namun Vano justru menunjukkan ketertarikan pada Desi. Dengan alasan untuk menjaga persahabatan mereka, Desi meminta Tia untuk berjanji agar mereka bertiga tetap menjadi sahabat tanpa adanya unsur-unsur cinta.
Cerita mulai berkembang pada saat Desi menginginkan mereka mengadakan perjalanan keliling Jawa sebagai perayaan ulang tahunnya yang ke-20. Dan di dalam perjalanan tersebut, sedikit demi sedikit mulai terbuka kenyataan yang selama ini tersembunyi.
Resensi
Saya mungkin jarang menonton film Indonesia bertema seperti ini, tapi dari semua yang pernah saya tonton, “Butterfly” adalah salah satu yang terbaik dari sisi cerita. Meskipun menggunakan alur cerita flashback, kisah dalam “Butterfly” tetap dapat diikuti dengan runut. Tidak seperti kebanyakan film lokal yang penuturan ceritanya sepertinya kelinci berjalan alias melompat-lompat.
Kekurangan dari film ini hanya satu. Rahasia Desi seharusnya sudah dapat dimengerti atau dirasakan oleh Tia sejak dulu, secara mereka bersahabat dekat. Namun kenyataannya tidak. Dan ini lah yang membuat alur cerita tampak sedikit janggal. Padahal untuk sebuah film lokal, “Butterfly” menawarkan ending yang cukup ‘berani’. Sayangnya, gara-gara kejanggalan tersebut, surprise yang seharusnya diberikan oleh ending tersebut menjadi sedikit berkurang efek kejutnya.
Satu hal lagi. Akting para pemain, kecuali Andhika Pratama, cukup baik dan total. Untuk Andhika sendiri entah kenapa terasa sedikit kurang alami.
Akhir kata, mumpung masih tayang, tonton deh film ini.
2. Resensi Buku
Catatan Perempuan Wartawan di Tengah Konflik Timtim

Judul: Timor Timur, Satu Menit TerakhirPenulis: CM Rien KuntariPenerbit: Mizan Pustaka, BandungCetakan: November 2008Tebal: 483 halamanPeristiwa lepasnya Timor Timur (Timtim) dari Indonesia diwarnai berbagai konflik, baik secara politik maupun sosial. Bahkan konflik tersebut berujung pada pertumpahan darah. Hal yang mengusik keingintahuan adalah, bagaimana seorang juru warta harus bersikap di tengah konflik tersebut.
Itulah yang dicoba disampaikan buku ini. Penulisnya, CM Rien Kuntari, tidak hanya mengisahkan berbagai peristiwa yang terjadi di Timtim baik menjelang maupun sesudah jajak pendapat, tetapi juga bagaimana ia sebagai seorang wartawan harus bertindak dan bersikap di tengah pihak-pihak yang sedang bertikai.
Dalam buku ini, Rien menyampaikan banyak pengalamannya selama melakukan tugas jurnalistiknya yang mungkin tidak pernah ia tulis dalam pemberita. Salah satu alasannya adalah untuk meredam konflik ataupun gesekan sosial yang semakin melebar. Sebab, seperti dikisahkan Rien, tulisan dalam media dapat mengubah sikap kelompok-kelompok tertentu di Timtim dalam sekejap. Kemarahan kelompok pro-integrasi dan pro-kemerdekaan dapat terpicu setelah mengetahui tulisan yang dimuat di dalam media.
Bahkan tidak jarang tulisan tersebut dapat memunculkan tuduhan dan "cap" tertentu pada sebuah media, misalnya media yang mendukung integrasi, atau media yang justru mendukung kemerdekaan Timtim. Bahkan, karena hal itu, acap kali wartawan dari media yang bersangkutan menjadi sasaran kemarahan kelompok-kelompok yang bertikai.Rien misalnya pernah menjadi target kemarahan pasukan milisi. Kelanjutannya, muncul skenario untuk menculik dan "menghabisi" wartawan Kompas (penulis adalah wartawan harian Kompas) tersebut. Menurut informasi yang ia dapat, rencana tersebut dikeluarkan dalam rapat tertutup antara pihak pro-otonomi yang melibatkan pasukan Aitarak dan FPDK (Forum Persatuan Demokrasi dan Keadilan).
Di mata kelompok pro-integrasi Rien merupakan wartawan yang telah melakukan dosa yang tidak terampuni, yakni memberikan berita yang seimbang dalam pemberitaan untuk pihak pro-kemerdekaan. Bahkan kepiawaian Rien dalam menjalin hubungan pihak-pihak pro-kemerdekaan telah memunculkan tuduhan dirinya bukan seorang nasionalis. Hal ini menguat ketika Kompas menurunkan laporan tentang Falintil dan wawancara khusus dengan Taur Matan Ruak dalam tiga halaman penuh pada HUT Falintil ke-24.
Padahal Rien sendiri hanya melakukan profesinya sebagai wartawan secara profesional, yakni tidak memihak pada salah satu kubu yang sedang berseberangan secara kepentingan. Namun di lapangan, seperti di wilayah konflik, kenetralan ini dapat diartikan lain. Dengan begitu, seorang wartawan memang dituntut lebih peka lagi dalam melakukan kegiatannya di wilayah tersebut.Teror dan intimidasi terhadap wartawan memang hal yang biasa terjadi di Timtim pada masa sekitar jajak pendapat. Salah satu korban yang dicatat oleh Rien adalah wartawan Financial Times biro Jakarta, Robert Thoenes. Menurut Rien, wartawan itu tewas terbunuh dengan sayatan di seluruh bibir dan sebagian wajahnya.
Hal lain yang menarik dari buku ini adalah keterusterangan Rien dalam mengungkapkan fakta yang ditemuinya di Timtim, misalnya saja ia mengisahkan bagaimana kekejaman kaum milisi menghabisi rombongan misonaris yang hendak pergi ke Los Palos dari Baucau. Peristiwa ini terjadi sekitar bulan September 1999. Pada saat itu, sembilan orang tewas dengan menyedihkan, di antara para misionaris terdapat seorang sopir, dua orang pemudi, dan satu orang wartawan.
Rien sendiri mengakui, ketika dirinya menjadi target pembunuhan kaum milisi, ia mengalami ketakutan yang luar biasa. Sebagai manusia biasa, ia juga merasakan kengerian ketika warga Timtim yang sebelumnya tampak ramah, tiba-tiba berbalik menjadi tidak bersahabat dan bahkan menampakkan sikap permusuhan. Bahkan sebelumnya ia juga sempat dihadang moncong pistol yang dihadapkan ke arah kepalanya dari jarak dekat.
Namun, nalurinya sebagai wartawan tidak menyurutkan ia untuk kembali ke Timtim. Ia seperti merasa "gatal" jika hanya memantau perkembangan situasi di Timtim dari Jakarta. Ia merasa harus langsung berada di Timtim untuk melihat apa saja yang sebenarnya terjadi di wilayah itu, ketimbang mengutip dari berbagai media asing dengan berbagai versi.
Itu sebabnya, ketika INTERFET (International Force for East Timor) yang dikomandani Australia memintanya untuk kembali ke Timtim pada pertengahan Oktober 1999, ia langsung menyambutnya. Apalagi hal ini didukung oleh atasan Rien di harian tempatnya bekerja.Mengenai hal ini, Rien menuliskan, bahwa pada akhirnya INTERFET membutuhkan media juga untuk mengimbangi pemberitaan negatif mengenai Australia. Padahal sebelumnya wartawan Indonesia betul-betul mengalami perlakuan diskriminasi dari pasukan tersebut.
Memang, persoalan Timtim tidak lepas dari persoalan hubungan antara Australia dan Indonesia. Sejak pasukan INTERFET tiba di Indonesia, hubungan kedua negara ini selalu memanas. Hal ini tidak lepas dari sikap Australia yang arogan terhadap Indonesia. Hal ini bahkan menyulut protes dari Indonesia.
Salah satu kasus yang memicu ketegangan antara Indonesia dan Australia adalah operasi rahasia yang dilakukan oleh Australia di wilayah Timtim. Meskipun hal ini diprotes oleh pihak TNI, namun pihak Australia tetap tidak ambil pusing. Pada perkembangan berikutnya, aksi Australia ini mengundang kemarahan sejumlah negara, termasuk Amerika. Kemarahan Amerika tersebut dipicu oleh keengganan Australia untuk membagi hasil dari operasi rahasia tersebut.
Hal lain yang menarik dalam buku ini adalah bagaimana sebagai seorang wartawan Rien memiliki tanggung jawab yang tidak sekadar menuliskan berita secara netral tetapi berpikir dengan spektrum ataupun kepentingan yang luas. Misalnya saja ketika ia menghadiri homili Uskup Mgr Filipe Ximenes Belo, SDB pada misa penutupan bulan Oktober, atau bulan devosi kepada Bunda Maria.
Dalam khotbahnya ketika itu, uskup justru menjelek-jelekkan Indonesia. Bahkan secara terang-terangan ia menyerang kaum milisi dengan menyatakan kaum milisi harus "mencuci tangan yang berlumuran darah", dan menebus dosa yang telah diperbuatnya secara setimpal.Khotbah tersebut disampaikan secara berapi-api seakan tidak satupun kebaikan di pihak Indonesia. Padahal ketika kekacauan di Timtim memuncak justru dialah yang lari meninggalkan umatnya di Timtim, dan misionaris Indonesialah yang tetap berada di Timtim.
Isi khotbah tersebut membuat Rien bertanya-tanya, apakah benar ia tengah mendengar khotbah dari seorang penerima Nobel Perdamaian? Jika menuruti keinginan hati, mungkin Rien ingin menuliskan apa yang didengarnya itu ke dalam berita. Namun pada saat itu ia teringat kepada Xanana, Taur Matan Ruak, dan Falur Rate Laec. Ketiga tokoh Timtim yang tidak pernah lepas dari senjata itu justru selalu meniupkan angin perdamaian, rekonsiliasi dan perdamaian.Akhirnya, Rien memilih memihak kepada Xanana dan kawan-kawannya. Ketimbang menuliskan berita yang berisi ucapan menyakitkan dari sang uskup yang mungkin akan menyulut gesekan yang lebih luas, baik ia menuliskan berita yang lebih menyejukkan setiap pihak. Sebab dengan begitu perdamaian di Timtim akan lebih mudah terwujud.
Secara garis besar, dalam buku ini dapat dilihat bagaimana seorang wartawan menjalankan tugasnya. Wartawan tidak hanya dituntut untuk memiliki kepiawaian dalam menjalankan profesinya, serta keberanian dalam menghadapi situasi yang paling ekstrem, tetapi juga mempunyai hati untuk menentukan keutamaan. Virtus in medio, keutamaan itu ada di tengah.****
3. Resensi Lagu/ Musik
Ketika para personil Lamb Of God [LOG] mengatakan kalau materi-materi album barunya, Wrath, akan mengejutkan tentu saja semua orang menunggu hasilnya. Ketika saya mendapatkan album ini dan mendengarkannya, ternyata tidak ada yang mengejutkan: tidak terlalu banyak yang baru. Tidak buruk memang, hanya saja tidak ada yang baru. Unsur thrash metal seperti Testament minus melodiousness-nya [karakter vokal low growl Randy Blythe mengingatkan pada vokal Chuck Billy in a way] atau groove metal seperti Pantera semakin jelas a la LOG, tapi that's it. Dual permainan gitaris Mark Morton dan Will Adler tidak terlalu nampak perkembangan, masih tight tapi serupa dengan album Sacrament. In Your Words cukup representatif sebagai lagu pertama [sesudah intro The Passing], aransemen musik dipadu dengan permainan vokal yang cukup unik. Serangan musik sejak awal sangat old school thrash metal dengan sound kekinian, dan nampaknya dari lagu pertama sepertinya LOG ingin memperkenalkan approach vokal baru Blythe, yang sedikit cukup berhasil. Seperti yang saya bilang di atas, cukup Testament-ish untuk departemen vokal, dan beberapa part aransemen lagu. Contractor justru sangat terasa unsur pengaruh Pantera, dengan formula seperti album LOG era album New American Gospel. Lagu ini kental dengan thrash metal dan groove metal yang khas new metal [no, bukan nu-metal]. Broken Hands adalah salah satu lagu yang paling enerjik dalam album ini dengan breakdown yang bagus. Vokal Blythe terasa prima di sini. Pada Reclamation ada unsur southern music, lagu ini cukup menarik. Sedikit eksperimental dan output-nya cukup berhasil. Lagu ini cukup menjadi penutup yang pantas. Wrath mungkin lebih berpengaruh pada fans lama [atau malah kecewa?!], tapi kalau mengambil fans baru sepertinya tidak berhasil. Saya sendiri berharap akan ada sesuatu yang baru, tapi tidak terlalu mendapat apa-apa di sini. Mungkin mereka terlalu cepat merilis album? Karena sepertinya beberapa lagu di sini adalah lagu-lagu yang tidak masuk ke dalam album Sacrament atau Ashes of The Wake. At least, mereka masih memainkan musik metal yang brutal dan cukup heavy. Kalau mau sesuatu yang menarik dari Lamb Of God, mungkin menonton DVD Walk With Me In Hell akan jauh lebih menarik. Tapi saya rasa tidak akan mengurangi keinginan saya untuk menyaksikan mereka secara live nanti di bulan Maret.